Ada tiga hal yang menjadi alat bagi manusia untuk mencari kebenaran, yaitu filsafat, ilmu dan agama. Walaupun tujuan ketiga aspek ini untuk mencari kebenaran, namun ketiganya tidak dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang sama ( sinonim ). Secara umum, filsafat dianggap sesuatu yang sangat bebas karena ia berpikir tanpa batas. Sedangkan agama, lebih mengedepankan wahyu/ilham dari zat yang dianggap Tuhan. Segala sesuatu yang berasal dari Tuhan, dalam perspektif agama adalah sebuah kebenaran yang tidak dapat ditolak. Sedangkan ilmu adalah sebuah perangkat metode untuk mencari kebenaran. Antara filsafat dan ilmu, sama-sama tidak memiliki tokoh sentral sebagaimana agama yang mensentralkan Tuhan. 

 Dengan kata lain, dapat dikatakan setiap masalah yang dihadapi manusia, maka mereka akan menggunakan tiga macam alat untuk mencapai penyelesaiannya. Sebagian ahli agama menjadikan filsafat dan ilmu sebagai alat untuk mempertajam pemahaman terhadap agama, sehingga kebenaran terhadap agama semakin kuat. Sedangkan ahli filsafat melihat agama dengan pemikiran yang mendalam, sehingga seorang filosof mendapat kebenaran yang paling hakiki. Sedangkan ilmu pengetahuan, sebenarnya sebuah alat yang sangat sederhana, karena ia dapat digunakan oleh semua orang dalam kapasitas dan kemampuan masing-masing manusia. Filsafat adalah salah satu bidang kajian yang mengkaji cara berpikir sampai mendalam tentang hakikat sesuatu. Filsafat merupakan induk dari berbagai ilmu pengetahuan. Oleh karena ada salah cabang filsafat salah satunya adalah epis timologi.

Rumusan Masalah

Bagaimana deskripsi tentang ilmu pengetahuan?

Bagaimana deskripsi tentang epistimologi yang merupakan salah satu cabang filsafat ilmu?

Bagaimana deskripsi tentang agama? 

Apa perbedaan dan persamaan ilmu pengetahuan epistimologi, filsafat, dan agama?

Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui deskripsi tentang ilmu pengetahuan

Untuk mengetahui deskripsi tentang epistimologi yang merupakan salah satu cabang filsafat ilmu

Untuk mengetahui deskripsi tentang agama

Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan ilmu pengetahuan epistimologi, filsafat, dan agama


























BAB III

PEMBAHASAN

Pengertian filsafat

 Kata filsafat berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “cinta akan hikmat” atau “cinta akan pengetahuan.” Seorang filsuf adalah seorang “pecinta”, “pencari” (philos) hikmat atau pengetahuan. (Sophia). Kata philossophos diciptakan untuk menekankan suatu pemikiran Yunani seprti Pythagoras (582-496 SM) dan plato (428-328) yang mengeritik para “sophists” yang berpeendapat bahwa mereka tahu jawaban untuk semua pertanyaan. Kata Pythagoras “hanya tuhan yang memiliki hikmah yang sungguh-sungguh.”

 Sepintas, antara ilmu dan filsafat terlihat sama saja. Tetapi bila ditelaah lebih jauh, akan terlihat perbedaan yang nyata antara keduanya. Namun demikian, tentu ada sisi-sisi persamaan dan juga perbedaan-perbedaan. “Walaupun filsafat muncul sebagai salah satu ilmu pengetahuan, akan tetapi ia mempunyai struktur tersendiri dan tidak dapat begitu saja dianggap sebagai ilmu pengetahuan.” Tentu saja sedikit banyak bagi setiap ilmu pengetahuan berlaku, bahwa ilmu itu mempunyai struktur dan karakteristik tersendiri. Studi tentang ilmu kedokteran adalah sesuatu yang berbeda sekali dengan sejarah kesenian, dan ilmu pasti atau matematika sesuatu yang berlainan sekali dengan ilmu pendidikan. Akan tetapi untuk filsafat, hal yang “tersendiri” ini berlaku dengan cara yang dasarnya lain. Ini menunjukkan bahwa filsafat memiliki akar lebih dalam daripada ilmu pengetahuan. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa filsafat adalah dasar-dasar ilmu pengetahuan itu sendiri. 

 Henrich Rombach, menyebutkan satu persatu sejumlah titik perbedaan antara ilmu dan filsafat. Pertama-tama, melalui filsafat kita dapat menanyakan mengenai sifat dan eksistensi dari suatu ilmu dan pengetahuan, akan tetapi “tidak ada suatu bidang di luar filsafat, yang kiranya dapat mengajukan pertanyaan yang menyangkut filsafat secara keseluruhan”. Fakta ini saja, secara fundamental sudah membedakan filsafat dari setiap ilmu pengetahuan yang lain. Bagi Plato, objek filsafat adalah penemuan kenyataan atau kebenaran mutlak, lewat dialektika.

 Barangkali tempat tersendiri yang diduduki filsafat, lebih jelas lagi terlihat dari hal yang berikut. Begitu suatu ilmu pengetahuan menyadari tujuannya sendiri dan batas-batas ruang lingkup kerjanya, ilmu itu menunjukkan kemajuan dan perkembangan yang cukup merata dan logis. Setiap ilmu pengetahuan keturunan demi keturunan terus membangun berdasarkan asasnya semula dan dengan demikian berkembang secara berkesinambungan. Bahkan krisis-krisis dari apa yang dinamakan penelitian dasar pun hanya menyebabkan kerusuhan saja.

 Bagaimanapun dahsyatnya kadang-kadang kerusuhan itu akan tetapi tidak ada yang musnah. Akan tetapi mengenai filsafat tidak ada “pembangunan yang logis”. 

 Filsafat tidak mengenal pembangunan yang tenang dan merata, yang tadinya merupakan persoalan. Filsafat pasti mengenal sesuatu seperti per-kembangan, dan mempunyai kontinyuitasnya sendiri. Jika tidak demikian halnya, bagaimana orang dapat berbicara tentang suatu “sejarah filsafat”? akan tetapi ini semua secara fundamental berbeda dengan pada ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.

Pengertian Ilmu

 J. Arthur Thompson dalam bukunya ”An Introduction to Science” menuliskan bahwa ilmu adalah deskripsi total dan konsisten dari fakta-fakta empiris yang dirumuskan secara bertanggung jawab dalam istilah-istilah yang sederhana mungkin. Secara bahasa, Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman yang berarti mengetahui, memahami dan mengerti benar-benar.

 Dalam bahasa Inggris disebut Science, dari bahasa Latin yang berasal dari kata Scientia (pengetahuan) atau Scire (mengetahui). Sedangkan dalam bahasa Yunani adalah Episteme (pengetahuan). Dalam kamus Bahasa Indonesia, ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang tersusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang itu.

 Dalam Encyclopedia Americana, ilmu adalah pengetahuan yang bersifat positif dan sistematis. Paul Freedman, dalam The Principles of Scientific Researchmendefinisikan ilmu sebagai: bentuk aktifitas manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.

 S.Ornby mengartikan ilmu sebagai susunan atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari fakta-fakta. Poincare, menyebutkan bahwa ilmu berisi kaidah-kaidah dalam arti definisi yang tersembunyi. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam proses untuk memperolehsuatu ilmu adalah dengan melalui pendekatan filsafat. 

 Menurut . Slamet Ibrahim. Pada zaman Plato sampai pada masa Al-Kindi, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh dikatakan tidak ada. Seorang filosof (ahli filsafat) pasti menguasai semua ilmu pengetahuan. Perkembangan daya berpikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praktis dikalahkan oleh perkembangan ilmu yang didukung oleh teknologi. Wilayah kajian filsafat menjadi lebih sempit dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Sehingga ada anggapan filsafat tidak dibutuhkan lagi. Filsafat kurang membumi sedangkan ilmu lebih bermanfaat dan lebih praktis. Padahal filsafat menghendaki pengetahuan yang komprehensif yang luas, umum, dan universal dan hal ini tidak dapat diperoleh dalam ilmu. Sehingga filsafat dapat ditempatkan pada posisi dimana pemikiran manusia tidak mungkin dapat dijangkau oleh ilmu.




Pengertian Agama

 Kata agama kadangkala diidentikkan dengan kepercayaan, keyakinan dan sesuatu yang menjadi anutan. Dalam konteks Islam, terdapat beberapa istilah yang merupakan padanan kata agama yaitu: al-Din, al-Millah dan al-Syari’at. 

 Ahmad Daudy menghubungkan makna al-Din dengan kata al-Huda (petunjuk). Hal ini menunjukkan bahwa agama merupakan seperangkat pedoman atau petunjuk bagi setiap penganutnya. Muhammad Abdullah Darraz mendefinisikan agama (din) sebagai: “keyakinan terhadap eksistensi (wujud) suatu dzat atau beberapa dzat-ghaib yang maha tinggi, ia memiliki perasaan dan kehendak, ia memiliki wewenang untuk mengurus dan mengatur urusan yang berkenaan dengan nasib manusia. Keyakinan mengenai ihwalnya akan memotivasi manusia untuk memuja dzat itu dengan perasaan suka maupun takut dalam bentuk ketundukan dan pengagungan”. Secara lebih ringkas, ia mengatakan juga: bahwa agama adalah “keyakinan (keimanan) tentang suatu dzat (Ilahiyah) yang pantas untuk menerima ketaatan dan ibadah (persembahan). Sedangkan Daniel Djuned mendevinisikan agama sebagai: tuntutan dan tatanan ilahiyah yang diturunkan Allah melalui seorang rasul untuk umat manusia yang berakal guna kemaslahatannya di dunia dan akhirat. Fungsi agama salah satunya adalah sebagai penyelamat akal.

 Dari definisi di atas, dapat dijelaskan bahwa pokok dan dasar dari agama adalah keyakinan sekelompok manusia terhadap suatu zat (Tuhan). Keyakinan dapat dimaknai dengan pengakuan terhadap eksistensi Tuhan yang memiliki sifat agung dan berkuasa secara mutlak tanpa ada yang dapat membatasinya. Dari pengakuan tentang eksistensi Tuhan tersebut, menimbulkan rasa takut, tunduk, patuh, sehingga manusia mengekpresikan pemujaan (penyembahan) dalam berbagai bentuk sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh suatu agama.

Makna lainnya dari agama bila dirujuk dalam bahasa Inggris Relegion(yang diambil dari bahasa Latin: Religio). Ada yang berpendapat berasal dari kata Relegere (kata kerja) yang berarti “membaca kembali” atau “membaca berulang-ulang”. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan berasal dari kata Religare yang berarti mengikat dengan kencang. Dalam makna tersebut penekanannya ada dua, yaitu pada adanya ikatan antara manusia dengan Tuhan, dan makna membaca, dalam arti adanya ayat-ayat tertentu yang harus menjadi bacaan bagi penganut suatu agama. 

 Esensi agama adalah untuk pembebasan diri manusia dari penderitaan, penindasan kekuasaan sang tiran untuk kedamaian hidup. Islam, seperti juga Abrahamic Religious keberadaannya untuk manusia (pemeluknya) agar dapat berdiri bebas di hadapan Tuhannya secara benar yang diaktualisasikan dengan formulasi taat kepada hukum-Nya, saling menyayangi dengan sesama, bertindak adil dan menjaga diri dari perbuatan yang tidak baik serta merealisasikan rasa ketaqwaan. Dasar penegasan moral keagamaan tersebut berlawanan dengan sikap amoral. Dalam implementasinya institusi sosial keagamaan yang lahir dari etika agama sejatinya menjadi sumber perlawanan terhadap kedhaliman, ketidak-adilan, dan sebagainya.

 Dari ungkapan di atas, dapat dipahami bahwa agama juga mengandung pemahaman tentang adanya unsur agama yang memiliki peran penting untuk mengharmoniskan kehidupan manusia. Dengan agama, suatu komunitas menjadi saling menyayangi sesama manusia walaupun memeluk agama yang saling berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa agama tidak semata-mata interaksi manusia dengan Tuhan, tetapi juga menuntut sikap yang saling menyayangi sesama manusia, walaupun berbeda agama sekalipun. Untuk itu makna agama dapat dikatakan sangat luas, termasuk juga sebagai wadah membina sikap saling sayang-menyayangi sesama manusia. Dengan kata lain, agama bukan hanya mengatur urusan penyembahan manusia terhadap Tuhannya, tetapi juga mengatur pola hidup manusia yang lebih baik melalui sikap saling kasih mengasihi sesama mereka.

 Selanjutnya, agama juga didefinisikan sebagai suatu keyakinan (iman) kepada sesuatu yang tidak terbatas (muthlak). Hal ini seperti dikatakan oleh Herbert Spencer bahwa faktor utama dalam agama adalah iman akan adanya kekuasaan tak terbatas, atau kekuasaan yang tidak bisa digambarkan batas waktu atau tempatnya. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu unsur terpenting dalam pemahaman tentang agama adalah adanya kekuasaan muthlak dari dzat yang dianggap pokok segala sesuatu, yaitu Tuhan. Dalam konsep ini, agama identik dengan pemahaman bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam segala hal. Karena itu agama merupakan sebagai central dari segala sesuatu tersebut untuk dikembalikan dan diserahkan segala urusan. Kadar penyerahan segala urusan ini, memiliki tingkat yang berbeda bagi agama tertentu dan aliran tertentu.

Korelasi Filsafat, Ilmu dan Agama 

Hubungan Filsafat dengan Ilmu 

 Meskipun secara historis antara ilmu dan filsafat pernah merupakan suatu kesatuan, namun dalam perkembangannya mengalami divergensi, dimana dominasi ilmu lebih kuat mempengaruhi pemikiran manusia, kondisi ini mendorong pada upaya untuk memposisikan ke duanya secara tepat sesuai dengan batas wilayahnya masing-masing, bukan untuk mengisolasinya melainkan untuk lebih jernih melihat hubungan keduanya dalam konteks lebih memahami khazanah intelektual manusia. 

 Harold H. Titus mengakui kesulitan untuk menyatakan secara tegas dan ringkas mengenai hubungan antara ilmu dan filsafat, karena terdapat persamaan sekaligus perbedaan antara ilmu dan filsafat, disamping di kalangan ilmuwan sendiri terdapat perbedaan pandangan dalam hal sifat dan keterbatasan ilmu, demikian juga di kalangan filsuf terdapat perpedaan pandangan dalam memberikan makna dan tugas filsafat.

 Adapun persamaan (lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat adalah bahwa keduanya menggunakan berpikir reflektif dalam upaya menghadapi/memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berpikiran terbuka serta sangat konsen pada kebenaran, di samping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisir dan sistematis

Hubungan Filsafat dan Agama

 Sebagian ahli memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam memikirkan berbagai hal yang mencakup alam, manusia bahkan Tuhan yang disembah oleh manusia. Dalam konteks ini, terdapat hal-hal tertentu yang cenderung memiliki kesamaan antara agama dan filsafat. Tidak mengherankan dalam khazanah Islam, dianggap seseorang yang mampu dalam hal pemikiran melebihi manusia kebanyakan, dianggap sebagai Nabi. Lalu, sebagian yang lain, karena kemampuan seorang Nabi terutama dalam mengucapkan ungkapan-ungkapan bijaksana adakalanya juga dikatakan sebagai filosof. Untuk itu, Logika yang ada dalam Islam memiliki corak tersendiri dibandingkan logika Barat yang bebas nilai-nilai keagamaan.

 Filsafat memasuki lapangan-lapangan ilmu keislaman dan mempengaruhi pembatasan-pembatasannya. Penyelidikan terhadap keilmuan meliputi kegiatan filsafat dalam dunia Islam. Dengan demikian filsafat Islam secara khusus memisahkan diri sebagai ilmu yang mandiri. Walaupun hasil juga ditemukan ke-identikan dengan pemandangan orang Yunani (Aristoteles) dalam masalah teori tentang pembagian filsafat oleh filosof-filosof Islam.

 Para ulama Islam memikirkan sesuatu dengan jalan filsafat. Ada yang lebih berani dan lebih bebas daripada pemikiran-pemikiran mereka yang biasa dikenal dengan nama filosuf-filosuf Islam. Di mana perlu diketahui bahwa pembahasan ilmu Kalam dan Tasawuf banyak terdapat pikiran dan teori-teori yang tidak kalah teliti daripada filosuf-filosuf Islam.




BAB III

PENUTUP


Kesimpulan

 Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa antara filsafat dengan ilmu serta dengan agama, memiliki hubungan yang sangat erat. Hal ini didasarkan pada tujuan ketiganya, yaitu mencari kebenaran. Namnu demikian, ketiga aspek dimaksud secara horizontal saling berhubungan, namun secara vertical menurut penulis, hanya agama saja yang memilikinya. Agama selain memiliki hubungan horizontal dengan filsafat dan ilmu, juga memiliki hubungan vertical dengan Tuban sebagai sembahan manusia itu sendiri.