Al-Quran secara normatif diyakini oleh umat Islam berfungsi sebagai petunjuk untuk kebahagiaan hidup di dunia maupun di akherat. Untuk tujuan itu, isi kandungan Al-Quran harus dapat diserap dan dipahami maknanya oleh umat Islam dan manusia secara umum. Pada sisi lain, untuk dapat menyerap dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, diperlukan sebuah perangkat keilmuan yang disebut “tafsir Al-Quran”. Namun sekali lagi, tafsir Al-Quran masih memerlukan metode-metode tertentu untuk menganalisis serta menjelaskan makna kandungan Al-Quran secara mendalam. Metode-metode tafsir ini telah berkembang sejak zaman Rasul hingga saat ini. Namun, sebagian ulama menilai bahwa dengan metode-metode yang ada, kelihatannya kurang mampu merespons serta memberikan solusi permasalahan-permasalahan umat dewasa ini. Pada abad-abad berikutnya, sebagian besar ulama berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat al- Qur’an selama ia memiliki syarat-syarat tertentu, seperti pengetahuan bahasa yang cukup; nahw, sharf, balâghah, isytiqâq, ‘ilm al-ushûl al-dîn, ‘ilm qirâ’ah; memahami asbâb al-nuzûl, nâsikh mansûkh, dan lain sebagainya. Dengan demikian, meskipun setiap orang bebas menafsirkan Al-Quran tetapi penafsiran tersebut harus dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab. Dalam kebebasan yang bertanggungjawab inilah timbul batasan dan koridor dalam menafsirkan Al-Quran. Pengabaian terhadap aturan main dapat menimbulkan polusi (penyimpangan) dalam pemikiran, Bahkan malapetaka dalam kehidupan.

      Saat ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya suatu model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh sebagian golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat kelompok- kelompok yang selama ini tersubordinatkan. Ini dapat dilihat dari semakin maraknya kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan baru, termasuk tafsir sosial, yang mengarah kepada realitas yang harus dijawab oleh al- Qur’an.


Pengertian Tafsir Sosial Agama

      Tafsir secara etimologi berarti penjelasan dan perincian. Ungkapan tafsir ini digunakan untuk menyingkap makna yang logis atau menyingkap makna yang masih tersembunyi. Dalam terminologinya tafsir adalah suatu ilmu yang di dalamnya di bahas tentang keadaan-keadaanAl-Quran dari segi dalalahnya kepada apa yang dikehendaki Allah, sebatas yang dapat disanggupi manusia.Makna kata “sosial” dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti “berkenaan dengan masyarakat”. Jadi, ilmu sosial adalah ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat baik secara individu maupun dalam suatu komunitas.Dalam kamus KBBI sosial merupakan sesuatu yang menyangkut aspek hidup masyarakat. Namun jika di lihat dari asal katanya, sosial berasal dari kata ”socius” yang berarti segala sesuatu yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan secara bersama-sama. Sedangkan dalam kerangka pembahasan Religious Studies, teks agama termasuk dalam kajian bahasa agama, dan dalam konteks Islam adalah al-Qur'an dan tafsirnya.

      Tafsir sosial (ijtima’i) adalah pemahaman terhadap teks Al-Quran yang terbuka untuk ditarik dalam ruang lingkup problematika sosial, baik dari aspek hukum maupun aspek-aspek yang langsung bersentuhan dengan permasalahan sosial kemasyarakatan yang terjadi pada masa kini dan yang akan datang. 


Sekilas Tentang Tafsir Sosial Agama

      Dalam kerangka pemikiran kontemporer, wahyu adalah postulasi yang tidak terbantahkan. Namun, yang menjadi tugas kita, bagaimana wahyu itu dihadirkan secara interpretatif dan menyajikan secara terstruktur dan teoretis. Di sinilah barangkali, ilmu-ilmu sosial modern dianggap mampu menyajikan dasar analisis teoretis bagi metodologi pembacaan atas Al-Quran. Dengan demikian, Al-Quran diposisikan sebagai sebuah kitab suci yang hidup yang dapat disoroti dari pelbagai sudut pandang dan perspektif. Model analisis sosial adalah salah satu piranti yang dapat mengungkap deep meaning esensial Al-Quran sehingga Islam dapat menembus sekat-sekat ruang dan waktu, kebudayaan, adat, letak geografis, dan berbagai dimensi historis lainnya.

      Agar sesuai dengan tuntutan zamannya, tafsir sosial dapat memanfaatkan ilmu-ilmu sosial yang berkembang dewasa ini termasuk di dalamnya filsafat sosial. Sebuah tawaran yang perlu dibuat sistematisasinya sehingga akan lebih mampu menjawab problem sosial atau mendialogkan fenomena sosial secara lebih memadai dengan menggunakan tafsir ayat-ayat sosial. Sebuah tafsir sosial yang berangkat dari konteks menuju teks. Perkembangan tafsir sosial ini, kemudian dirumuskan dalam sebuah sistematika yang mengintegrasikan paradigma ilmu pengetahuan sebagai landasan pemilahan ayat dengan paradigma tafsir al-Qur‟an sebagai proses memahami ayat al-Qur‟an. Ini sejalan dengan pernyataan Naquib al-Attas, yang menyatakan bahwa sebuah metodologi pengetahuan (termasuk di dalamnya ilmu sosial) yang diislamisasikan harus didasarkan pada ilmu penafsiran dan ulasan yang menerapkan metode tafsir dan ta’wîl. Tafsir merujuk pada penafsiran ayat-ayat al-Qur'an yang sudah tetap (muh}kamât). Tafsir didasarkan pada pembacaan objektif ayat-ayat al-Qur'an, dan tidak ada ruang untuk penafsiran yang didasarkan pada pembacaan subjektif, atau pemahaman yang sekedar didasarkan pada gagasan tentang relativisme sejarah. Ta’wîl di sisi lain, adalah bentuk intensif tafsir dan dapat merujuk pada interpretasi alegoris terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang masih samar dan ambigu (al-mutashâbihât). Dengan demikian, bukan tafsir al-Qur'an yang hendak dislamisasikan karena ia pada dasarnya memang sudah islami tetapi ilmu pengetahuan sosial atau realitas sosial yang hendak didialogkan dalam kerangka tafsir al-Qur'an.

      Kehidupan sosial kemasyarakatan merupakan jaringan sosial yang mengikat orang menjadi suatu kehidupan bersama. Jaringan sosial ini bersifat dinamis atau selalu berubah. Semua realitas sosial senantiasa berubah dengan derajat, kecepatan dan tempo yang berbeda-beda. Realitas sosial tidak dapat dipahami sebagai realita yang statis, tetapi merupakan sebuah sistem atau suatu entitas yang tidak dapat dipahami hanya dari dinamika hubungan organik bagian bagiannya dalam dimensi ruangnya saja, tetapi juga harus dipahami dinamikanya dalam dimensi waktu yaitu pertumbuhan, perkembangannya dan perubahannya dalam perjalanan sejarah. Keniscayaan adanya perubahan dalam masyarakat meniscayakan pula adanya perubahan dalam sebuah penafsiran. ”Perubahan” di sini bukan berarti perubahan yang meninggalkan akarnya, perubahan tanpa pijakan dan tanpa rambu, melainkan sebuah perubahan pendekatan penafsiran yang tetap berpegang teguh pada kaidah-kaidah tafsir atau ushul al-tafsir. Hasil pembacaan, pengamatan dan budaya masyarakat mufassir hendaknya juga dijadikan tolok ukur proses penafsiran. Banyaknya turats tafsir dengan ragam bentuk dan corak yang telah diwariskan oleh mufassir-mufassir masa lalu merupakan contoh konkrit dari adanya keterkaitan realitas mufassir dengan teks tafsir yang telah dihasilkan. Oleh karena itu, satu hal yang tidak bisa ditinggalkan dalam pembacaan teks tafsir adalah memahami background atau biografi selengkapnya dari penulis tafsir. Pemahaman terhadap figur setiap mufassir akan memudahkan pembaca menemukan argumentasi masing-masing mufassir melahirkan teks tafsir dengan beragam kecenderungan.


Contoh Penafsiran Sosial Ayat Al Quran Dari Berbagai Kitab Tafsir

1. Muhammad Abduh (1266 H/1849 M-1905) dan Rasyid Riḍha (1282 H-1354 H/1935 M) dengan karyanya tafsir al-Quran al Karīm (Tafsir al-Manâr)

      Muhammad Abduh membuat tafsirnya ini diwaktu kebangkitan ilmu pengetahuaan. Hasil karyanyanya itu diberikan kepada murid-muridnya. Orientasi tafsirnya adalah pada kebangkitan wadah Islam; Memikirkan faham-faham kemasyarakatan Islam. Karena menurutnya agamalah yang menanggulangi kesulitan-kesulitan modern. Niatnya timbul terinspirasi pada pergerakan Jamalud-din al-Afgani. Muhammad Abduh mengajarkan tafsir di Universitas al- Azhar, Kairo, Mesir. Banyak mahasisiwa dan muridnya itu yang tertarik oleh pelajaran yang diajarkannya. Salah seorang diantaranya adalah Muhammad Rasyid Ridha. Dia sangat tertarik kepada uaian-uraian dan pembahasan yang disampaikan oleh gurunya yang masyhur ini. Muhammad Rasyid Ridalah orang pertama mewarisi ilmu Muhammad Abduh. Hasil usahanya ini jelas tampak dalam tafsir yang dinamakannya dengan tafsir al-Qur’ân al- Karīm. Terkenal dengan tafsir al-Manâr dinisbahkan kepada majalah al-Manâr yang diterbitkannya.

Pada dasarnya tujuan pokok Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat Al-Quran ialah agar umat dapat memahaminya sebagai sumber agama yang memberi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Metode penafsiran dan sekaligus menjadi prinsip yang digunakan Muhammad Abduh dalam tafsirnya diantaranya:

1. Memandang tiap-tiap surat sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.

2. Ayat-ayat Al-Quran adalah besifar umum

3. Al-Quran sebagai sumber Tasyri’ (Aqidah dan syari’ah) yang pertama

4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Quran

5. Perang terhadap taqlid

6. Tidak merinci persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham (tidak 

jelas) oleh Alquran

7. Sangat kritis dalam menerima hadis-hadis nabi

8. Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat dan menolak israiliyyat

9. Mengaitkan penafsiran Al-Quran dengan kehidupan social. Selain itu, problem sosial umat Islam yang mendapat perhatian dari tafsir al-Manâr adalah persoalan kebebasan, seperti kebebasan beragama, kebebasan berpolitik, serta bid’ah dan munkarat yang menjangkit umat islam. Berikut contoh penafsiran Muhammad Abduh atau Rasyid Ridha dalam tafsir al Manar.

Salah satu contohnya adalah ketika beliau menafsirkan ayat tentang poligami, 

Firman Allah dalam surat al Nisâ ayat 3:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita wanita lain yang kamu senangi dua, tiga dan empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja atau budak yang kamu miliki."

      Maksud ayat di atas menurut Muhammad Abduh adalah tentang perlakuan terhadap anak yatim. Sebagian wali laki-laki, yang bertanggung jawab mengelola kekayaan anak yatim perempuan, tidak mampu mencegah dirinya dari ketidakadilan dalam mengelola harta si anak yatim, satu solusi yang dianjurkan untuk mencegah salah kelola adalah mengawini anak yatim itu. Pada satu sisi Alquran membatasi jumlahnya sampai empat, disisi lain tanggung jawab ekonomi untuk menafkahi isteri akan sejajar dengan akses harta perempuan yatim melalui tanggung jawab manajemen pengelolaannya. Mayoritas pendukung poligami sedikit sekali membicarakan poligami dalam konteks perlakuan yang adil terhadap anak yatim. 

Muhammad Abduh menjelaskan bahwa ayat poligami berkaitan dengan ayat lain seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a dalam surat al Nisâ’: 127:

“Dan kamu mempunyai keinginan untuk menikahi mereka (anak-anak yatim itu)”, maksudnya ada perasaan di hati untuk menikahi dengan bekal harta dan kecantikan, maka dilarang untuk menikah kecuali kalau niatnya betul-betul lurus dari hati sanubarinya yang tulus."

Ibn Jarir mengemukakan: ayat di atas adalah larangan menikah lebih dari empat karena dikhawatirkan akan hilangnya harta anak yatim. Hal ini terjadi pada seseorang Quraisy yang mengawini perempuan lebih dari sepuluh maka habislah harta tadi yang digunakan untuk memberi nafkah bagi isteri-isteri yang lain, oleh sebab itu dilarang cara semacam ini. 

      Muhammad Abduh menyatakan bahwa ayat di atas menjelaskan tentang jumlah isteri dalam pembahasan anak yatim dan pelarangan memakan harta mereka. Seandainya kamu khawatir memakan harta mereka bila mengawininya maka Allah membolehkan nikah dengan perempuan lain sampai berjumlah empat, tetapi bila tidak sanggup untuk berlaku adil maka satu saja. Izin yang diberikan dalam ayat tersebut mengenai poligami dibatasi dengan persyaratan, yaitu apabila sang suami itu memiliki akhlak yang baik, dan secara ekonomis dia mampu untuk memberi nafkah kepada dua isteri atau lebih secara adil dalam setiap kondisi, serta mampu menghindarkan diri dari perilaku yang dapat menyulut perpecahan antara kedua isteri tersebut.


2. Hamka dengan karyanya tafsir al-Azhar

      Corak yang mendominasi penafsiran Hamka adalah Tafsir al-Ijtima’ī yang tampak terlihat dari latar belakang Hamka sebagai seorang sastrawan dengan lahirnya novel-novel karya beliau sehingga beliau berupaya agar menafsirkan ayat Alquran dengan bahasa yang dipahami semua golongan dan bukan hanya ditingkat akademisi atau ulama, selain itu beliau memberikan penjelasan berdasarkan kondisi sosial yang sedang berlangsung (pemerintah orde lama) dan situasi politik kala itu.salah satu contoh penafsirannya adalah Hamka ketika menafsirkan ayat di atas (Q.S.al-Furqan/25:63) dalam tafsirnya Al-Azhar, mengemukakan bahwa orang yang berhak disebut Ibadur Rahman (Hamba- hamba Tuhan Yang Maha Pemurah), adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi Allah dengan sikap sopan santun, lemah lembut, tidak sombong dan tidak pongah, sikapnya tenang. Penjelasan Hamka di atas memberikan gambaran orang-orang yang disebut dengan Ibadur Rahman, mereka yang memiliki sikap dan perilaku rendah hati dan lemah lembut. Gambaran perilaku seperti ini tentunya memberi kesan yang kuat bahwa orangnya memiliki ketenangan jiwa, bila orang telah memiliki ketenangan jiwa tentu perilakunya juga membawa kedamaian, tidak saja berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga lingkungan di mana ia hidup. Lebih lanjut Hamka menggambarkannya dengan rincidalam tafsirnya :

“Bagaimana dia akan mengangkat muka dengan sombong, padahal alam di kelilingnya menjadi saksi atasnya bahwa dia mesti menundukkan diri. Dia adalah laksana padi yang telah berisi, sebab itu dia tunduk. Dia tunduk kepada Tuhan karena insaf akan kebesaran Tuhan dan dia rendah hati terhadap sesama manusia, karena diapun insaf bahwa dia tidak sanggup hidup sendiri, di dalam dunia ini. Dan bila dia berhadapan, bertegur sapa dengan orang yang bodoh dan dangkal fikiran, sehingga kebodohannya banyaklah katanya yang tidak keluar daripada cara berfikir yang teratur, tidaklah ia lekas marah, tetapi disambutnya dengan baik dan diselenggarakannya. Pertanyaan dijawabnya dengan memuaskan, yang salah dituntunnya sehingga kembali ke jalan yang benar. Orang semacam itu pandai benar menahan hati”.


3. Abdullah Yusuf Ali dengan karyanya The Holy Quran, Text, Translation and Commentary.

      Contoh penafsiran Abdullah Yusuf Ali ketika menafsirkan Q.S.Yunus/10:99, yaitu: Orang yang beriman tidak boleh marah jika berhadapan dengan orang yang tidak beriman, dan terutama sekali ia mesti dapat menahan diri dari godaan melaksanakan kekerasan, misalnya memaksakan iman kepada orang lain dengan paksaan fisikal atau dengan paksaan orang lain, semisal tekanan sosial (politik ekonomi), membujuk dengan harta atau kedudukan, atau mengambil manfaat cara lain yang dibuat-buat. Iman yang dipaksakan bukanlah iman, mereka mesti berusaha dengan jalan rohani dan biarlah Tuhan yang memberi hidayahNya.


4. M. Quraish Shihab Tafsir Al-Mishbah

      M. Quraish Shihab adalah seorang mufassir termasyhur di Indonesia yang sangat produktif dalam menghasilkan karya-karya berkenaan dengan tafsir dan Al-Quran. Salah satu karyanya yang monomental adalah Tafsir al- Misbah. Contoh penafsirannya tentang corak adab al-ijtimai, adalah sebagai berikut:

Menurut M. Quraish Shihab, jika kata malam yang terdapat dalam Q.S.al- Qadar/97: 5, dipahami sebagai kata keadaan, sifat atau sikap, maka kita dapat berkata bahwa malam tersebut penuh dengan kedamaian yang dirasakan oleh mereka yang menemuinya atau boleh juga kita berkata bahwa sikap para malaikat yang turun pada malam tersebut adalah sikap yang penuh damai terhadap mereka yang berbahagia menemuinya. Selanjutnya M. Quraish Shihab, mengutip pendapat Ibn al-Qayyim dalam kitabnya al-Rûh yang mengungkap tentang kedamaian dan kententraman hati, menjelaskan bahwa: “Hati yang mencapai kedamaian dan ketentraman mengantar pemiliknya dari ragu kepada yakin, dari kebodohan kepada ilmu, dari lalai kepada ingat, dari khianat kepada amanah, dari riya‟ kepada ikhlas, dari lemah kepada teguh atau kokoh dan dari sombong kepada tahu diri.” Kemudian yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab di atas merupakan nilai- nilai Qurani yang jika diimplementasikan dalam kehidupan manusia akan mewujudkan suatu masyarakat yang damai dan harmonis. Mereka yang hatinya sudah mencapai kedamaian (salam) tidak terpengaruh dengan berbagai glamornya kehidupan dunia serta berbagai syahwat yang akan menjerumuskan nya kepada kehinaan. Bahkan, jika orang-orang bodoh (jahil) ingin menyapanya dengan maksud mengejek dan menghina orang-orang yang mendapat kasih sayang Allah SWT tersebut tetap berkata santun dan penuh kedamaian sebagaimana ditegaskan dalam Q.S.al-Furqan/ 25:63. 


Kesimpulan

      Tafsir al-Qur‟an adalah upaya penafsir untuk menjelaskan pesan Ilahi yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur‟an dengan target pencarian makna sedekat mungkin dengan maksud Allah dan sebatas kemampuan manusia. Karena eksistensi al-Qur‟an adalah untuk segala zaman dan tempat, oleh karena itu diperlukan sebuah kebijakan yang dapat mencerahkan, membangkitkan, dan merekatkan ilmu-ilmu sosial dengan teks al-Qur‟an untuk menjawab problem-problem sosial yang dihadapi manusia. Meski demikian, epistemologi tafsir ayat-ayat sosial masih merupakan sebuah wacana yang nampaknya perlu terus dikembangkan bagi terwujudnya sebuah sistematika epistemologinya, sehingga tujuan tafsir al-Qur‟an sebagai petunjuk universal sekaligus petunjuk teknis bagi jawaban terhadap problem sosial zamannya dapat dilakukan melalui tafsir ayat-ayat sosial.

      Agar sesuai dengan tuntutan zamannya, tafsir sosial dapat memanfaatkan ilmu-ilmu sosial yang berkembang dewasa ini termasuk di dalamnya filsafat sosial. Sebuah tawaran yang perlu dibuat sistematisasinya sehingga akan lebih mampu menjawab problem sosial atau mendialogkan fenomena sosial secara lebih memadai dengan menggunakan tafsir ayat-ayat sosial. Sebuah tafsir sosial yang berangkat dari konteks menuju teks. Perkembangan tafsir sosial ini, kemudian dirumuskan dalam sebuah sistematika yang mengintegrasikan paradigma ilmu pengetahuan sebagai landasan pemilahan ayat dengan paradigma tafsir al-Qur‟an sebagai proses memahami ayat al-Qur‟an. Ini sejalan dengan pernyataan Naquib al-Attas, yang menyatakan bahwa sebuah metodologi pengetahuan (termasuk di dalamnya ilmu sosial) yang diislamisasikan harus didasarkan pada ilmu penafsiran dan ulasan yang menerapkan metode tafsir dan ta’wîl. Tafsir merujuk pada penafsiran ayat-ayat al-Qur'an yang sudah tetap (muh}kamât). Tafsir didasarkan pada pembacaan objektif ayat-ayat al-Qur'an, dan tidak ada ruang untuk penafsiran yang didasarkan pada pembacaan subjektif, atau pemahaman yang sekedar didasarkan pada gagasan tentang relativisme sejarah. Ta’wîl di sisi lain, adalah bentuk intensif tafsir dan dapat merujuk pada interpretasi alegoris terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang masih samar dan ambigu (al-mutashâbihât). Dengan demikian, bukan tafsir al-Qur'an yang hendak dislamisasikan karena ia pada dasarnya memang sudah islami tetapi ilmu pengetahuan sosial atau realitas sosial yang hendak didialogkan dalam kerangka tafsir al-Qur'an.