BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

 Pembicaraan al-Quran mengenai hakikat manusia meliputi semua aspek keperibadian yang meliputi fizik dan psikis bahkan hingga kepada perilaku dan perbaikan terhadap perilaku tersebut. Menurut al-Quran, keperibadian manusia itu memiliki banyak unsur. Setiap unsur dapat mempengaruhinya dalam perbuatan atau berperilaku. Unsur-unsur keperibadian tersebut adalah jasmani, nafsani, dan rohani.

 Kajian-kajian ilmiah mengenai manusia dalam perspektif al-Quran yang dilakukan oleh para sarjana banyak terfokus pada hakikat manusia itu sendiri. Padahal perbincangan al-Quran mengenai manusia juga mencakupi watak keperibadian. Hal itu terlihat dalam berbagai-bagai ayat yang menyebutkan banyak sekali watak manusia tersebut. Dalam rangka membangun dan mengembangkan psikologi Islam, kajian ini sangat penting dilakukan. Ini kerana berbicara tentang segala sesuatu yang disebut sebagai Islam atau bersifat Islam mestilah dirujukkan kepada al-Quran sebagai sumber pertama dan utama Islam itu sendiri. Terutama watak keperibadian, yang dapat dijadikan rujukan dalam mengkaji manusia, sama ada untuk keperluan pengembangan ilmu pengetahuan ataupun kepentingan lainnya. 

B. Rumusan Masalah  

Apa Pengertian Tipologi?

Apa Pengertian Manusia?

Apa Macam-macam Tipologi Kepribadian Manusia dalam Al-Qur’an?

C. Tujuan 

Untuk mengetahui pengertian tipologi

Untuk Mengetahui Pengertian Manusia

Untuk mengetahui macam-macam tipologi kepribadian manusia dalam Al-Qur’an

BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Tipologi

Tipologi secara harfiah dapat diertikan kepada ‘ilmu tentang watak’ Dalam kajian psikologi, tipologi didefinisikan kepada ‘suatu sistem yang digunakan untuk mengklasifikasikan individu sesuai dengan kriteria tertentu. Perkataan ‘type’ dipakai dalam teori keperibadian. Type itu kadang-kadang dikontraskan dengan ciri, namun dasar kontrasnya tidak selalu sama. Maka ‘tipologi manusia’ dapat diartikan kepada ‘ilmu tentang watak kepribadian manusia. Manusia mempunyai watak tertentu yang membuatnya berbeda atau sama antara satu dengan yang lain. Maka, dalam kajian tipologi ini manusia itu diyakini mempunyai watak dengan ciri-ciri tertentu. Berdasarkan watak atau cirinya itu dia dapat dikategorikan dan diklasifikasikan.

Pengertian Manusia

Al-Qur’an menggunakan tiga istilah pokok dalam penyebutan manusia. Pertama, menggunakan kata yang terdiri atas huruf alif, nun, dan sin, seperti kata insan, ins, nas, dan unas. Kedua, menggunakan kata basyar. Ketiga, menggunakan kata Bani Adam dan zurriyat Adam.

Al-Insan

Dari segi morfologis kata al-insan berasal dari kata nasiya-yansa yang secara etimologis bermakna“melalaikan atau meninggalkan sesuatu” atau “lupa”. Selain itu, kata al-insan bisa juga berasal dari kata insiyan yang berakar pada kata ins. Secara etimologis kata ins bermakna “tampaknya sesuatu” dan “jinak”. Kata insan digunakan Alquran untuk menunjuk pada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Kata ini disebut sebanyak 65 kali dalam Alquran dan istilah ini digunakan dalam tiga konteks. Pertama, insan dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah pemikul amanah. Kedua ,insan dihubungkan dengan predisposisi negatif dalam dirinya. Ketiga,insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga, semua konteks insan merujuk pada sifat-sifat psikologis dan spiritual-intelektual.

Al-Basyar

Kata ini berakar dengan huruf-hurf ba, syin dan ra, yang bermakna pokok “nampaknya sesuatu dengan baik dan indah”. Dari makna ini terbentuk kata kerja basyara dengan arti-arti “bergembira, menggembirakan, dan menguliti (misalnya buah)” dan juga “memperhatikan dan mengurus sesuatu”. Menurut al-Raghib seperti yang dikutip oleh Abd. Muin Salim bahwa kata basyar adalah jamak dari kata basyarat “kulit”. Manusia disebut basyar karena kulit manusia tampak berbeda dibanding dengan kulit hewan lainnya. Kata ini di dalam Al Qur'an secara khusus merujuk kepada tubuh dan lahiriah manusia.

Bani Adam dan Zurriyat Adam

Kedua istilah ini berbeda dengan kedua istilah sebelumnya. Keduanya merujuk kepada manusia adalah karena adanya keterkaitan dengan kata Adam. Kedua istilah tersebut diartikan dengan keturunan, tetapi sesungguhnya memiliki konotasi yang berbeda. Kata bani berakar dengan huruf-huruf ba, nun dan ra, yang bermakna sesuatu yang lahir dari yang lain dan kata zurrriyat yang berakar dengan huruf-huruf zal, ra dan ra mempunyai arti kehalusan dan tersebar.

Dikaitkannya kedua kata tersebut dengan Adam memberi kesan kesejarahan dalam konsep manusia; dan zurriyat Adam mengandung konsep keragaman manusia yang tersebar dalam berbagai warna dan bangsa. Hal ini sesuai dalam QS. Al-Rum (30 ): 22 dan QS. Fathir (35): 28. Dalam hadis Rasulullah saw juga ditemukan manifestasi bani Adam yang diciptakan dalam berbagai bentuk warna dan bahasa, seperti dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Sunan Ahmad bin Hanbal, Nabi saw bersabda: Sesungguhnya Allah swt telah menciptakan Adam dari segenggam tanah yang diambilnya dari berbagai macam tanah, maka datanglah anak cucu Adam menurut kadar tanah asalnya, ada yang berwarna putih, merah dan ada yang hitam dan diantara warna tersebut. Ada juga yang kotor, bersih, lembut, keras dan diantaranya."

Berdasarkan teks ayat dan hadis yang diungkapkan oleh Rasulullah saw yang demikian ialah sebagai salah satu tanda kekuasaan Allah swt, bisa jadi ayat dan hadis di atas digunakan sebagai dasar kebenaran pluralitas dalam kerangka kemanusian yang satu, yang semua akan kembali dan menisbatkan diri kepada Tuhan.

Tipologi Kepribadian dalam Al-Qur’an

Perbincangan al-Quran mengenai karakter kepribadian manusia meliputi dua bagian. Pertama adalah karakter kepribadian manusia pada umumnya. Artinya, manusia secara keseluruhan memiliki karakter tersebut. Hal itu meliputi sifat keluh kesah dan gelisah ketika menghadapi masalah dalam hidupnya, baik masalah materialis ataupun masalah immaterialis. Selain dari karakter di atas, terdapat pula sifat dasar manusia pada umum lainnya, iaitu perasaan perlu kepada Tuhan ketika dalam kesusahan dan lalu mendekati-Nya, tetapi ketika kesusahannya sudah hilang dia pun lupa kepada Tuhannya itu. Namun menurut al-Quran, karakter ini tidak tetap. Dia bisa berubah terutama dengan kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan. Karakter kedua adalah sifat-sifat khusus pribadi atau individu, yang tidak dimiliki oleh semua orang seperti mukmin, kāfir, muslih, mufsid, dan lain sebagainya. Al-Quran memberikan penilaian terhadap setiap watak yang diperbincangkannya. Oleh karena itu, watak kepribadian menurut al-Quran itu secara umum dapat dikategorikan kepada watak baik dan buruk. Hal ini yang dikaji dalam tulisan ini sebagai watak kepribadian atau tipologi kepribadian manusia. 

Dalam makalah ini tidak terfokus pada pengkategorian watak baik dan buruk saja, tetapi lebih diperincikan pada pengkategorian watak kepribadian atas ciri-ciri khusus yang ada pada masing-masing watak. Dalam rangka itu, sebelum membicarakan watak khusus itu maka perlu dijelaskan perkara yang dijadikan standard dalam mengklasifikasikan watak tersebut. Al-Quran membincangkan berbagai-bagai watak manusia. Perbincangan itu didasarkan atas berbagai aspek, yang secara umum dapat diklasifikasikan menjadi sepuluh watak. Setiap watak itu dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari sepuluh watak tersebut, yaitu:

Tipologi Kebenaran dan Risalah Ilahiah

Al-Quran membagi watak manusia, jika dilihat dari aspek penerimaan dan penolakan terhadap kebenaran dan risalah ilahiah yang dibawa para nabi, kepada tiga jenis iaitu menerima, pura-pura menerima, dan menolaknya. Orang-orang yang menerimanya disebut dengan orang mukmin dan musaddiq (membenarkan). Orang yang berpura-pura menerimanya disebut dengan orang munafik. Sedangkan orang-orang yang menolaknya disebut sebagai kafir dan mukadhdhib (mendustakan). Pengklasifikasian manusia ke dalam jenis-jenis ini ditegaskan dalam al-Quran (al-Taghābun 64 : 2) 

Watak mukmin ditandai dengan merindukan ayat-ayat Allah, bertawakal kepada-Nya, sholat dengan khusyuk, yaitu jiwanya tunduk kepada Allah, peduli terhadap orang-orang susah, tidak menyukai perkataan tidak berguna seperti perkataan batil dan sumpah palsu dan menjaga diri dari berbuat jahat atau zina. Inilah sikap dan perilaku terpuji yang lahir dari orang yang mempunyai watak mukmin. 

Kafir bererti menentang kebenaran, terutama kebenaran yang dibawa para nabi, baik dalam makna tidak mempercayai ataupun menolak mengamalkannya. Mukadhdhib bermakna membohongkan atau mendustakan kebenaran terutama risalah ilahiah yang dibawa para nabi. Orang yang berwatak kafir dan mukadhdhib memiliki ciri sebaliknya daripada ciri di atas. Dia tidak memiliki rasa kerinduan kepada ayat-ayat Allah. Jiwanya tidak merasakan apa-apa ketika mendengarkan ayat-ayat Allah, tidak berserah diri kepada-Nya, tidak salat, kurang kepedulian kepada orang-orang yang tidak mampu – kalaupun membantu atau memberi, dia mempunyai maksud tertentu di balik pemberiannya itu dan tidak merasa perlu menjaga diri dari zina kecuali kerana hanya menjaga kesihatan. Bahkan, dia menolak kepercayaan kepada risalah yang dibawa para nabi. 

Orang yang berwatak munafik mempunyai sifat penampilan sebagai orang mukmin tetapi perbuatannya penuh dengan kejahatan. Kalaupun dia berbuat baik, kebaikannya itu hanya untuk menarik perhatian dan kepercayaan orang terhadapnya. Al-Quran dalam surah al-Baqarah ayat 11, Allah berfirman; “Apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang munafik), janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi. Mereka menjawab, sesungguhnya kami ini orang baik (muslihun).” Orang munafik ini menjalani kehidupannya penuh dengan pura-pura atau berlagak baik untuk mewujudkan kepentingannya, maka oleh kerana itu dia selalu berada pada pihak yang diuntungkan.

Tipologi Bermuamalah

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendirian, dia memerlukan orang lain bahkan lingkungan non manusia atau alam sekitar. Dalam berinteraksi dengan alam sekitarnya, manusia memperlihatkan berbagai ragam interaksi. Akan tetapi secara umum dapat dikategorikan kepada dua jenis, yaitu baik dan buruk. Hal itu didasarkan atas kesan yang ditimbulkan interaksinya itu terhadap lingkungannya. Ada beberapa istilah yang digunakan al-Quran untuk menggambarkan jenis pertama (baik), yaitu sālih, muslih, dan muhsin. Sedangkan jenis yang tidak baik adalah mufsid dan fāsiq. 

Orang soleh adalah orang yang tidak berbuat kerusakan, dan tidak pula mendatangkan kerusakan kepada orang lain atau lingkungan sekitarnya. Bahkan, al-Quran menggambarkan bahawa orang yang berwatak soleh tidak hanya orang yang tidak berbuat kerusakan tetapi juga mengerjakan perkara-perkara yang baik, dan berbuat sesuai dengan sunnatullah. Maka, orang yang berwatak soleh adalah orang yang memiliki keperibadian positif, tidak mengganggu dan bahkan mendatangkan kedamaian. Muhsin dan muslih bererti mendatangkan kebaikan, kedamaian, serta ketenangan kepada orang lain atau lingkungannya. Dia berusaha menghilangkan kerusakan, seperti mendamaikan dua orang yang bermusuhan yang dijelaskan dalam al-Hujurāt ayat 10.

Orang yang memiliki watak seperti ini, selalu berbuat kebaikan untuk alam sekitarnya sehingga dia berusaha memberi kebaikan dan kebahagiaan kepada orang lain, dia berusaha menghapus kerusakan dan kejahatan yang ada di sekitarnya. Pertikaian dari watak di atas adalah mufsid dan fasiq. Mufsid tidak hanya bererti rusak (fāsid), tetapi juga merusak yaitu mendatangkan kesan negatif terhadap yang lain. Dengan kata lain, orang yang berwatak ini tidak hanya sekadar keperibadiannya yang rusak tetapi dia juga mendatangkan kerusakan kepada orang lain. Dia suka melakukan suatu perbuatan yang mendatangkan kesan buruk kepada orang lain atau lingkungan sekitar di mana dia berada. Perbuatan merosak ini disebut al-Quran sebagai perilaku orang fasiq, seperti yang tergambar dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 26-27.

Tipologi Kondisi Jiwa

Jika dilihat dari aspek kondisi atau keadaan jiwa yang tampil dalam tindakan maka watak keperibadian manusia itu dapat pula dikategorikan kepada dua jenis, yaitu mutma’innah (tenang) dan lawannya halū`a atau jazūa (gelisah). Orang yang berjiwa tenang adalah orang-orang yang tidak mudah terkena stres, seperti apa pun kondisi kehidupan yang dijalani dia tetap tenang. Sebaliknya, orang yang berwatak jazūa adalah yang selalu resah dan gelisah tidak tenang, dalam setiap kondisi kehidupan yang dijalani sama ada menyenangkan ataupun kurang menyenangkan.

Manusia dalam hidup ini memang selalu menghadapi masalah dan persoalan yang dapat mengusik ketenangannya. Akan tetapi, menurut al-Quran tidak semua orang merasa terusik itu gelisah dan membuatnya stres dalam menghadapi persoalan tersebut. Untuk mendapatkan ketenangan dalam hidup ini, al-Quran menawarkan kepada manusia agar selalu mendekatkan diri kepada Allah. QS. al-Ma‘ārij ayat 19-23 menawarkan jalan keluar dari stres, yaitu penyerahan diri secara total kepada Allah. Implementasinya dalam wujud mendirikan solat. Selain itu, al-Quran juga mengajarkan agar banyak berzikir atau mengingati-Nya dalam surat al-Ra‘d ayat 28. 

Tipologi Hawa Nafsu

Manusia dari aspek ketergodaannya terhadap hawa nafsu pula dikategorikan kepada dua kumpulan, iaitu mengikuti hawa nafsu sepenuhnya dan tidak mengikuti hawa nafsu sepenuhnya. Orang yang memiliki watak pertama diperalatkan oleh hawa nafsunya; semua yang diinginkan nafsunya selalu dituruti, dia tidak menyaring keinginan nafsunya itu. Al-Ghazali mengklasifikasikan watak keperibadian manusia atas dasar ketergodaannya terhadap hawa nafsu menjadi tiga bentuk, yaitu: Orang sepenuhnya menuruti kehendak nafsunya, orang yang selalu berjuang melawan kehendak nafsunya, dan orang yang benar-benar dapat mengalahkan hawa nafsunya, sehingga tidak ada sedikit pun waktu bagi nafsu untuk menguasai peribadinya.

Tipologi Menghadapi Persoalan Luaran yang Berkaitan Dengannya

Manusia dalam menjalani kehidupannya selalu menghadapi persoalan peribadi, terutama kejadian-kejadian yang tidak sesuai dengan perkara yang diinginkan. Banyak persoalan hidup ini yang tidak sesuai dengan yang diinginkan. Jika dilihat dari aspek menghadapi persoalan tersebut, manusia dapat diklasifikasikan menjadi dua watak, iaitu sabar dan tidak sabar. Orang yang berwatak sabar mampu menahan diri dalam setiap hal-hal yang mendesak peribadinya untuk berbuat sesuatu terhadap persoalan luaran yang dihadapinya, di mana dia memang seharusnya secara akal sihat dan agama menahan diri. 

Orang berwatak sabar adalah orang menyerahkan segala persoalan hidup yang dihadapinya kepada Allah. Dia mampu menahan dari berbuat sesuatu yang seharusnya memang tidak boleh dia lakukan walaupun ada dorongan yang teramat kuat dalam jiwanya melakukan sesuatu tersebut. Dengan penyerahan diri secara total itu, maka dia pun mendapat ketenangan jiwa. Sebenarnya perasaan takut, krisis ekonomi, dan kondisi peribadi secara fizik yang kurang normal dapat mendorong terjadi tindak negatif baik dari sisi akal sihat ataupun agama. Akan tetapi orang yang berwatak sabar ini mampu menahan dan menekan dorongan itu, sehingga dia dapat mengabaikannya dan tidak berperilaku sesuai dengan dorongan tersebut. 

Watak orang yang tidak sabar adalah tidak mampu menahan diri, padahal akal dan agama menuntutnya agar menahan diri. Dengan kata lain, orang berwatak tidak sabar memiliki ciri bertentangan dari ciri di atas. Dia tidak mampu mengendalikan dirinya, sehingga dia mudah terbawa emosi dan mudah terdorong oleh kekuatan negatif yang terdapat dalam jiwanya. Dia berperilaku sesuai dorongan emosinya, yang semestinya secara akal sihat dan agama dia tidak boleh berperilaku demikian.

Tipologi Pengenalan Terhadap Kebenaran dan Mengikutinya

Jika dilihat dari aspek pengenalan terhadap kebenaran dan mengikuti kebenaran itu, maka manusia dapat pula dibagi menjadi dua jenis, iaitu muhtad (mendapat petunjuk) dan dall (sesat). Orang yang berwatak muhtad boleh menjadi hād (menyebarkan petunjuk itu kepada orang lain) kemudian dia menjadi pencerah bagi orang lain. Demikian pula orang yang berwatak dall, dia lebih jauh boleh menjadi mudill (menyesatkan) orang lain. Di antara ciri orang berwatak muhtad dan hād itu adalah: 

Selalu mencari kebenaran dan mengikutinya 

Berusaha menyebarkan kebenaran yang dia peroleh kepada orang lain, seperti yang terlihat pada sikap dan perilaku para nabi dan orang-orang soleh. Hal itu antara lain tergambar pada usaha Nabi Ibrahim yang berusaha menyampaikan kebenaran itu kepada ayahnya sendiri. 

Tidak mahu memanipulasi kebenaran. 

Tidak mengikuti godaan atau rayuan siapapun yang bertentangan dengan ajaran tauhid, sebab mengikuti nafsu dapat merusak statusnya sebagai orang muhtad bahkan boleh juga membuatnya menjadi sesat. 

Sedangkan ciri-ciri orang yang berwatak dall adalah bertentangan dengan karakter muhtad di atas. Dia tidak berpegang kepada kebenaran, selalu larut dalam syahwat dan kelazatan duniawi tanpa mempertimbangkan kepantasan dan kepatutan baik dalam gambaran akal sihat ataupun agama. Al-Quran menegaskan dalam al-Mukminūn ayat 106 “Mereka berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan adalah kami orang-orang yang sesat. Orang yang berwatak sesat ini tidak menyedari, bahawa dia sesat maka diapun menganggap orang lain yang sesat. Seperti tuduhan sesat yang dilontarkan kepada Nabi Nuh oleh umatnya, ketika Nuh mengajak mereka mentauhidkan Allah.

Tipologi Fenomena Alam sebagai Ayat Allah

Al-Quran juga membincangkan tipologi keperibadian manusia yang didasarkan atas pandangannya terhadap fenomena alam sebagai ayat-ayat Allah. Dalam berinteraksi dengan alam dan melihat fenomenanya, ada orang yang terkadang dapat menangkap kebesaran dan keagungan Tuhan di balik fenomena itu, dan ada pula yang melihatnya sebagai suatu kejadian alami yang tidak mempunyai sangkut paut dengan Tuhan. Golongan yang pertama disebut oleh al-Quran dengan ulul albāb (orang-orang yang berakal) dan yang terakhir orang yang tidak ulul albāb atau orang yang tidak berakal.

 Orang yang termasuk dalam kategori ulul albāb itu adalah orang yang dapat mencerap fenomena alam sebagai bahagian yang tak terpisahkan dari Tuhan. Dia melihat segala yang ada bahkan termasuk dirinya sendiri merupakan fenomena yang menunjukkan kebesaran Tuhan. Ulul albāb adalah orang yang dapat menangkap tanda-tanda kebesaran Allah pada keunikan atau keindahan alam raya, yang meliputi langit dan bumi serta segala isinya. Kemudian keunikan itu semakin indah terlihat dengan fenomena malam dan siang. Kedua peristiwa ini betul-betul berbeda dan perbedaan itu mendatangkan manfaat bagi manusia. Kemampuan ulul albāb menangkap tanda kebesaran Allah dalam peristiwa malam dan siang membuat dia selalu ingat kepada Allah dalam tiap-tiap aktivitas yang dilakukan. Bahkan, dia tidak hanya mengingat Allah tetapi juga mempelajari alam raya yang unik ini dan hasil pembelajarannya membuat dia semakin mengakui keindahan dan kebesaran Tuhan. Di sini terlihat, bahawa ulu al-albāb adalah orang yang mampu memadukan zikir dan fikir seperti dijelaskan dalam QS.Ali ‘Imrān 3 ayat 190-191.

Orang yang tidak termasuk dalam watak ulul albāb tidak dapat menangkap pesan-pesan keimanan yang terdapat pada fenomena alam yang selalu terjadi sekitarnya. Al-Quran menyebut mereka ini dengan orang-orang lalai (ghāfil) atau bodoh yang tidak dapat menggunakan indera dengan sempurna sehingga inderanya itu tidak dapat menyerap keimanan atau ketauhidan yang terdapat dalam peristiwa alam tersebut. Dalam al-Quran dinyatakan dalam surat al-A‘rāf ayat 179.

Tipologi Sikap Terhadap Kebahagiaan Akhirat

Seperti yang telah digambarkan di atas, bahwa keperibadian manusia jika dilihat dari aspek kepercayaan atau keimanannya kepada Allah dapat dikategorikan kepada mukmin dan kafir. Masing-masing watak ini, jika dilihat dari sikapnya terhadap kebahagiaan di balik kehidupan dunia ini, melahirkan dua watak lainnya, yaitu mengharapkan kebahagiaan di balik kematiannya (yarju al-akhirah) dan tidak mengharapkan kebahagiaan (la yarjuna al-akhirah). Orang mukmin sangat mengharapkan kebahagiaan akhirat kerana dia sangat meyakini bahawa hari pembalasan itu pasti ada. Sedangkan orang kafir tidak mengharapkannya, kerana mereka tidak meyakini adanya pembalasan itu.

Berangkat dari dasar kepentingan dan kebahagiaan akhirat ini, manusia dapat pula dikategorikan kepada dua watak lainnya iaitu mukhlis (orang yang ikhlas) dan riya’. Orang berwatak ikhlas adalah yang melepaskan keterkaitan pekerjaannya dari harapan dan keinginan terhadap apa sahaja selain Allah. Dalam setiap perbuatan yang dilakukannya terselip harapan rida dan kasih sayang-Nya. Berbeda dari itu, orang riya’ tidak mengharapkan Allah dalam perilaku dan aktiviti baik yang dia lakukan. Dia hanya mengharap keuntungan materialis dari setiap pekerjaan dan kegiatannya.

Tipologi Perbuatan Jahat

Bagaimanapun juga, manusia adalah makhluk yang memiliki nafsu. Dia selalu digoda oleh setan yang menghendaki manusia itu berbuat kejahatan atau melakukan perkara-perkara yang bertentangan dengan akal dan atau agama. Oleh itu, tidak ada manusia yang tidak berdosa. Akan tetapi, dalam menyingkap perbuatan dosa yang telah dikerjakan, manusia itu mempunyai ragam dan watak yang berbeda. Ada manusia yang cepat menyedari kesalahannya, kemudian bertaubat dan menyesali perbuatannya itu. Ada pula manusia yang tetap dalam kesalahan; dia tidak menyadari kesalahannya bahkan dia merasa tidak bersalah. Al-Quran menyebutnya dengan istilah al-tā’ib (orang yang bertaubat) atau almustaghfir (orang yang meminta ampun). Sebaliknya, al-Quran menyebutnya dengan mujrim iaitu orang yang tidak mau bertaubat dan tidak mengakui kesalahannya.

Ibrahim Samarqandi berpandangan bahwa taubat itu ditandai secara lahiriah dan batiniah. Secara batiniah, dia menyesali perbuatan dosanya dalam hati dan secara zahiriah, lisannya selalu berucap istighfār (memohon keampunan Allah), dan sedikit pun tidak ingin kembali kepada perbuatan itu selama-lamanya. Orang yang berwatak mujrim atau mudhnib, iaitu orang yang terus menerus berbuat dosa. Al-Quran menggambarkan bahawa orang yang berwatak mujrim sangat membenci hadirnya kebenaran dan hilangnya kebatilan (al-Anfāl 8: 8). artinya, orang mujrim sangat menginginkan tidak wujudnya yang hak di muka bumi ini, dan tetap eksisnya kebatilan. Allah SWT menggambarkan karakter orang yang berwatak mujrim ini dalam surat Yunus ayat 82.

Tipologi Kepedulian Sosial 

Selain dari dasar atau standard di atas, al-Quran juga membuat kategori watak manusia itu atas dasar kepedulian sosial, yaitu pemurah (sakhiy) dan kikir (bakhīl). Al-Quran menggunakan istilah mutasaddiq dan munfiq untuk menggambarkan orang pemurah. Orang yang berwatak pemurah senantiasa mengambil berat terhadap kesulitan dan kesusahan orang lain sehingga dia selalu memberikan bantuan sesuai daya dan upaya yang dimilikinya. Sebaliknya, orang yang berwatak bakhīl tidak memiliki kepekaan sosial; dia tidak mau tau dengan kondisi orang lain. Maka, bantuan tidak muncul darinya, kalau dia memberi perhatian atau bantuan pasti ada keuntungan peribadi yang diinginkannya di sebalik bantuan itu.

Orang yang berwatak pemurah ini adalah orang yang suka membantu siapa sahaja yang memerlukan bantuannya. Al-Quran juga menggambarkan mereka ini sebagai orang yang suka memberi kepada kaum kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan, orang-orang yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya seperti dijelaskan dalam al-Baqarah ayat 177. 

Watak kedua adalah bakhīl, istilah ini berarti kikir atau lawan dari pemurah (diddu al-karam). Secara istilah, bakhīl dapat diartikan kepada “menahan apa-apa yang dimiliki dari sesuatu yang sepatutnya tidak dia tahan.” Orang kikir atau bakhīl tidak memiliki perhatian sosial. Dia tidak mau tau kesusahan orang lain dan segala miliknya hanya digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri. Di antara ciri orang yang berwatak bakhil itu adalah suka menyimpan harta dan tidak mahu membelanjakannya untuk kepentingan orang ramai atau orang-orang yang sangat memerlukan (al-Taubah 9 : 34). Orang yang bakhil ini selalu mengira dan menilai bahawa bakhil itu sesuatu hal yang baik, kerana dapat menyelamatkan harta dan menjamin kesejahteraan hidupnya sedangkan pemurah dapat membuatnya menjadi miskin. Perkiraan ini membuat mereka menjadi kikir. 

Sehubungan dengan itu al-Quran menafikannya dalam surah āl-‘Imran ayat 180. Analisis di atas menggambarkan bahwa ada beberapa indikator watak bakhil, yaitu: 

Dia tidak memiliki keprihatinan sosial terhadap orang yang memerlukan kepedulian seperti anak yatim, orang miskin, dan hamba sahaya. 

 Sombong dan membanggakan diri, terutama harta yang dimilikinya. 

Mengajak orang berlaku kikir seperti dirinya. 

Menyembunyikan rezeki yang Allah anugerahkan kepadanya. 

 Kalaupun dia membantu orang, namun bantuannya itu tidak ikhlas.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahawa al-Quran mengklasifikasikan watak manusia itu kepada watak baik dan buruk. Watak baik mempunyai banyak bentuk yang tergambar dalam sifat dan perilaku seharian manusia itu sendiri. Watak tidak baik mempunyai banyak bentuk pula, yang juga tergambar pada sifat dan perilaku sehariannya. Di sisi lain, al-Quran juga secara umum menyebut watak mukmin dan kafir. Sesuai dengan mukmin, terdapat pula watak Muslim dan muttaqin. Demikian pula kafir, berkaitan pula dengan watak musyrik dan sebagainya. Keduanya merupakan watak manusia secara umum, yang memiliki banyak turunan watak lainnya. Dari watak mukmin dan Muslim, lahirlah watak soleh, muslih, muhsin, mukhlis, mutasaddiq, mutma’innah, mustaghfir, muflih, sabir, dan watak-watak terpuji lainnya. Dari watak kafir dan musyrik lahir pula watak munāfiq, fāsiq, kādhib, mukadhdhib, mujrim, dall (sesat), mudill (menyesatkan), mufsid (merusak), bakhīl (kikir), dan watakwatak tercela lainnya.