1) Tipologi Quasi-Obyektivis Tradisionalis

          Adapun yang dimaksud dengan pandangan quasi-obyektifis tradisionalis, yaitu suatu pandangan bahwa ajaran-ajaran al-Qur’anharusdipahami, ditafsirkan dan

diaplikasikan pada masa kini, sebagaimana ia dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi, di mana al-Qur’anditurunkan kepada Nabi Muhammad dan disampaikan kepada generasi Muslim awal. Singkatnya adalah ajaran-ajaran al-Qur’an harus dipahami secara tektual seperti yang tertera di dalam teks ayat tersebut dan yang sesuidengan kondisi di zaman ayat tersebut diturunkan. Sahiron mencontohkan yang mengikuti pandangan ini seperti kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir dan beberapa kaum salafi yang ada di beberapa negara Islam. Memang benar kelompok ini ketika menafsirkan alQur’an metode yang digunkan dibantu dengan berbagai perangkat metodis ilmu tafsir yang telah mapan, seperti ilmu asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, munasabah, muhkam dan mutashabih dan lain sebagainya, namunmereka mengabaikan kontekstualisasi ayat. Sehingga hasil dari penafsiran kelompok ini terkesan tekstual. Karena ilmu-ilmu bantu kontemporer lainnya diabaikan. Dengan metode yang ada mereka berharap makna obyektif di balik ayat yang ditafsirkan mampu terungkap dengan baik. Ciri utama yang mudah dikenali dari model penafsiran kelompok ini adalah penafsiran yang tekstualis (literal).


2) Tipologi Quasi-Obyektivis Modernis

          Berbeda dengan tipologi-tipologi tersebut di atas, tipologi quasiobyektivis modernis yaitu suatu pemahaman terhadap al-Qur’an dengan menggunakan metode konfensional yang telah ada seperti asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasabih dan lain sebagainya yang terdapat dalam ulum al-Qur’an, dengan tanpa mengabaikan perangkat metode baru modern-kontemporer seperti ilmu-ilmu eksakta maupun noneksakta (hermeneutika). Tipologi ini menurut Sahiron memiliki kesamaan dengan tipologi quasi-obyektivis tradisionalis dalam hal bahwa mufasir di masa kini tetap berkewajiban untuk menggali makna asal dengan menggunakan di samping perangkat metodis ilmu tafsir, juga perangkatperangkat metodis lain, seperti informasi tentang konteks sejarah makro dunia Arab saat penurunan wahyu, teori-teori ilmu bahasa dan sastra modern dan hermeneutika. Manurut Sahiron perbedaannya adalah bahwa aliran quasi-obyektivis modernis memandang makna asal (bersifat historis) hanya sebagai pijakan awal bagi pembacaan al-Qur’an di masa kini; makna asal literal tidak lagi dipandang sebagai pesan utama al-Qur’an. Jelasnya bahwa pandangan ini sama sekali tidak mengabaikan teks dan kontekstualitas al-Qur’an. Umat Islam yang mengikuti pandangan ini di antaranya dianut oleh Fazlur Rahman dengan konsepnya double movement. Muhammad al-Thalibi dengan konsepnya al-tafsir al-maqashidi dan Nashr Hamid Abu Zayd dengan konsepnya al-tafsir al-siyaqi. 

          Al-Qur’an memang perlu ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman, namun perlu diingat pula latar belakang historisnya yang kemudian ditarik penafsirannya di era sekarang. Menurut Sahiron, muslim saat ini harus juga berusaha memahami makna di balik pesan literal, yang disebut oleh Rahman dengan ratio legis, dinamakan oleh al-Thalibi dengan maqashid (tujuan-tujuan ayat) atau disebut oleh Abu Zayd dengan maghza (signifikansi ayat). Makna di balik pesan literal inilah yang harus diimplementasikan pada masa kini dan akan datang. Ciri dari tipologi ini adalah produk penafsirannya yang bernuansakan sosial kemsyarakatan. Artinya bahwa, produk penafsirannya berorientasi pada kontektualitas ayat dengan tanpa mengabaikan makna asal ayat dan makna historisitas ayat. Misalnya Tafsir Maudhu’i: Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial Kontemporer karya Nashruddin Baidan. Hal tersebut terlihat dalam karyanya, misalnya ketika ia membahas tema tentang ”Etik Berpolotik”.


3) Tipologi Subyektivis 

          Tipologi yang menganut aliran subyektivis menegaskan bahwa setiap penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir, dan karena itu kebenaran interpretatif bersifat relatif. Berdasarkan argumen inilah menurut kelompok yang menganut tipologi ini, setiap generasi umat manusia, khususnya umat Islam mempunyai hak untuk menafsirkan kembali al-Qur’an sesuai dengan perkembangan zaman. Menurut kelompok ini pada era sekarang al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan ilmu-ilmu bantu yang berkembang pada era sekarang tanpa harus melibatkan metode konfensional. Pandangan seperti ini antara lain dianut oleh Muhammad Shahrur. Dalam menafsirkan al-Qur’an Shahrur tidak lagi tertarik untuk menelaah makna asal dari sebuah ayat atau kumpulan ayatayat. Mufassir modern, menurutnya, seharusnya menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan perkembangan ilmu modern, baik itu ilmu eksakta maupun non-eksakta. Biasanya umat Islam yang mengikuti pandangan Shahrur ini mendapat predikat “kaum liberal”. Karena pandangan ini tidak lagi membutuhkan perangkat metodologi ulum al-Qur’an yang telah ada seperti asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasabih dan lain sebagainya. Bagi pandangan ini al-Qur’an cukup ditafsirkan dengan menggunakan perkembangan ilmu-ilmu modern-kontemporer, seperti sosiologi, antropologi, matematik, psikologi dan ilmu-ilmu humaniora lainnya (hermeneutik). 

          Sedangkan untuk di Indonesia sendiri belum ada yang berani melakukan penafsiran dengan tipologi subyektivis ini. Dalam arti bahwa subyektivis dalam peanfsiran pasti ada, namun subyektivis dalam arti bawha penafsirannya sebagaimana dengan kreteria kerangka teori di atas yang benar-benar meniggalkan metodologi konvensional dan hanya menggunakan metodologi kontemporer belum ditemukan dalam karya tafsir di Indonesia. Belum ditemukannya karya tafsir dengan tipologi subyektivis untuk wilayah Indonesia hal tersebut salah satunya dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah masih banyaknya para mufasir yang belum berani melangkah kepada sebuah penafsiran yang seperti telah dilakukan oleh Shahrur. Selain itu juga mereka masih hati-hati dengan perkembangan metode kontemporer yang ada seperti hermenutika, maka wajar jika metode yang mereka gunakan masih menggunakan metode yang telah mapan dalam ulum al-Qur’an. Karena bagi mereka metode tafsir yang ada di dalam ulum al-Qur’an sudah cukup dan belum perlu lagi menggunakan metode baru seperti hermeneutika. 


4) Penerapan

          Di Indonesia sendiri pendekatan kontekstual menjadi arah baru yang mulai dibangun dalam tradsisi karya tafsir al-Qur’an hingga saat ini. Tidak kurang dalam kurun waktu tersebut telah banyak para mufsir Indonesia yang melahirkan banyak karya dalam studi al-Qur’an telah bermunculan dengan mengusung beberapa isu-isu aktual budaya lokal keindonesiaan. Misalnya beberapa tema tentang pembaharuan metodologi keislaman, isu-isu budaya dan adat istiadat masyarakat Indonesia, keragaman budaya dalam konteks keindonesiaan, korupsi, banjir dan perilaku manusia, isu teologi dan lingkungan hidup, perjudian dan prostitusi, isu kesetaraan gender, poligami, pluralisme, demokrasi, hukum, dan tema-tema yang lainnya yang tentunya sangat erat kaitannya dengan isu-isu aktual serta nuansa budaya lokal keindonesiaan. Selain beberapa isu-isu yang ditafsirkan di atas, setidaknya ada bebapa isu-isu aktual yang belum diangkat dan mesti di perhatikan oleh seorang penafsir di era modern-kontemporer ini. Diataranya adalah mengenai isu pemanasan global, kelestarian lingkungan hidup, sumber daya alam, juga beberapa isu-isu terkait dengan kerukunan umat beragama. 

Tema-tema penafsiran bernuansa isu-isu aktual di atas, merupakan bentuk respon agama terhadap problematika yang muncul dan berkembang di masyarakat. Agama, melalui para pelakunya hendaknya peka terhadap isu-isu aktual atau problematika yang berkembang di masyarakat. Isu-isu dan problematika kontemporer yang berkembang di masyarakat membutuhkan penyelesaian yang segera. Karena jika tidak ada penyelesaian, banyak problem di Indonesia yang mengakibatkan perpecahan umat Islam sendiri, terutama mengenai isu-isu keagamaan, seperti terorisme dan pluralisme. 

          Dari macam-macam tipologi tafsir di atas, tampaknya tipologi quasiobyektivis modernis yang mampu menjawab tantangan zaman. Karena tipologi ini memiliki gerak metodologi yang berimbang antara pengarang (author), teks (text), dan pembaca (reader). Pemahaman teks memang seharusnya merupakan produk interaksi yang hidup antara pengarang (author), teks (text), dan pembaca (reader).